Milky, coffee & TV
Blur “Coffee & TV”
. “Y’know, one time coffee was believed to be the drink of the devil. When
Pope Vincent III heard about this, he decided to taste the drink before
banning it. In fact, he enjoyed coffee so much, he wound up baptising
it, stating ‘coffee is so delicious, it would be a pity to let the
infidels have exclusive use of it’. I also feel that way about coffee.
And about TV. And … about Blur.”
—Bob Dylan, memperkenalkan “Coffee & TV” di acara radionya pada tahun 2006
Sebuah kotak susu berjalan di tengah keramaian kota. Di badannya
menempel selembar foto anak hilang. Susah payah ditembusnya segala
rintangan perjalanan itu: jalan raya yang penuh mobil, orang-orang
berlalu lalang, risiko terlindas dan terinjak. Bagaimanapun, si anak
hilang harus segera ditemukan. Di rumahnya telah menunggu dengan cemas
sepasang orang tua—muka mereka murung.
Videoklip “Coffee &
TV” adalah cerita tentang sebuah misi mulia. Sebuah upaya penyelamatan.
Perjalanan si kotak susu menjadi sangat heroik sekaligus mengharukan.
Dan perjuangannya tak sia-sia. Si anak hilang berhasil ditemukan—dia
sedang bermain musik, nge-band bersama teman-temannya. Si anak hilang
pun bergegas pulang, meninggalkan teman-temannya, kembali ke rumah
orangtuanya. Tugas si kotak susu selesai.
Blur, band asal
Inggris, berhasil menerjemahkan lirik lagunya ke dalam bahasa gambar
videoklip dengan cara yang ‘berbeda’. Lirik lagu “Coffee & TV”
sendiri bercerita tentang seorang superstar yang lelah akan dunianya.
Lirih, lagu bernuansa minor ini dilantunkan—setengah berharap, setengah
mengejek. “Do you feel like a chain store/ practically floored/ one of
many zeros/ kicked around bored…” Popularitas menjadikan seorang bintang
seakan-akan (harus) hidup dalam deretan etalase toko: siap
dilihat-lihat, dan oleh sebab itu harus bagus—karena konsumen adalah
raja. Sang bintang pun terjebak dalam rutinitas itu: rangkaian konser
yang gegap gempita, jadwal tur yang melelahkan, kejaran pers, dan
histeria penggemar. Ruang gerak pun menjadi terbatas. Privasi tiba-tiba
menjadi satu hal langka.
Penggemar bisa berada di mana saja,
siap mengejar-ngejar untuk sekadar tanda tangan atau foto bersama.
Sesuatu yang mungkin pada awalnya menyenangkan, membanggakan, tapi
lama-kelamaan merepotkan juga. Sang bintang pun merasa letih. Mungkin
juga jenuh—dan karenanya ingin sekali-kali hengkang dari situ. Di bagian
reffrain, dengan teriakan setengah tertahan, keinginan itu diungkapkan:
“…so give me coffee and TV easily/ I’ve seen so much/ I’m going blind/
and braindead virtually…” Hal-hal sepele pun kemudian menjadi sangat
berharga: ditemani secangkir kopi, menonton televisi, menjalani
kehidupan seperti orang lain, layaknya seorang manusia biasa.
Videoklip lagu ini tak lantas ber-‘frontal ria’. Dia tidak hendak
menerjemahkan lirik lagu begitu saja. Dipilihnya cara penyampaian yang
lebih ‘halus’. Sebuah sudut pandang yang sedikit berbeda, tanpa harus
menyimpang dari tema utama dan pesan lagu yang ingin disampaikan. Tak
ada sepotong pun adegan tentang gemerlapnya dunia bintang. Tak ada
kilapan blitz kamera dan lampu-lampu panggung yang menyilaukan. Tak ada
kepungan mikrofon wartawan dan teriakan histeris penggemar. Sebagai
gantinya, dipakainya simbol-simbol, yang cukup simpel tapi dalam: kotak
susu dan foto anak hilang.
Hampir seluruh adegan adalah
petualangan seru si kotak susu. Sang bintang digambarkan sebagai “si
anak hilang”. Sebuah kiasan yang cukup bersahaja. Bahwa si kotak susu
harus menempuh perjalanan yang cukup berat—untuk ukuran sebuah kotak
susu—menggambarkan betapa misi mulia itu tidaklah mudah: “mengembalikan”
sang bintang ke dunianya yang semula. Betapa tidak gampang untuk keluar
dari sebuah lingkaran setan bernama “dunia showbiz” itu. Dunia yang
penuh gemerlap, tampak menyenangkan, tapi sekaligus kejam. “Take me away
from this big bad world…”—Blur bahkan menggambarkannya sebagai “sebuah
dunia besar dan buruk”.
Dunia bintang ternyata tak selalu
seenak kelihatannya, dan popularitas tak selamanya menyenangkan. Tak
jarang mereka memaksa seorang bintang harus terus memakai topeng, demi
menghibur penggemar. “Your ears are full but you’re empty/ holding out
out your heart/ to people who never really/ care how you are…” Ada
‘kekosongan’ di tengah ketenaran itu, menyelinap diam-diam. Ada sesuatu
yang hilang.
Tapi siapa yang mau peduli ‘kehampaan’ itu?
Tiba-tiba kita teringat kisah tragis Kurt Cobain. Popularitas
Nirvana—lengkap dengan segala konsekuensinya—ternyata, siapa sangka,
sangat menyiksa dia. Salah satu judul lagunya yang terkenal, “I Hate
Myself and I Want To Die” seakan mengisyaratkan sesuatu. Semacam beban
yang berat. Bisa jadi sesuatu yang tak terjelaskan, namun menghimpit.
Surat terakhirnya lebih menegaskan lagi: “…kejahatan terbesar yang
pernah aku lakukan adalah naik ke panggung dan mempertontonkan
kepalsuan…” Dan matilah si dewa grunge itu—dengan pistol ia meledakkan
kepalanya sendiri. Tragis.
Blur bukannya tak tahu hal itu.
Invasi pertama Blur ke Amerika di awal ’90-an—mencoba mengulang
kesuksesan Beatles—gagal total karena demam grunge ala Nirvana sedang
kuat-kuatnya melanda Amerika. Band asal Inggris lainnya, Oasis, yang
sukses menginvasi Amerika beberapa tahun kemudian, juga pernah menulis
tentang risiko sebuah popularitas. Lirik lagu “Champagne Supernova”
mereka menyiratkan hal itu: “How many special people change/ how many
lives are living strange/ where were you when we were getting high?”
Dunia pesohor tak selamanya indah. Blur pernah menjadi bintang,
merasakan popularitasnya, menanggung risikonya. Dan mereka ingin
sekali-kali “keluar”—sebelum beban itu meledak. Melepaskan label-label
superstar mereka, meski cuma sejenak. Mereka memilih cara yang sehat:
dengan “kopi dan televisi”—bukan pistol. Pilihan yang manis. Lebih manis
lagi, dengan sekotak susu yang berjalan-jalan lucu sepanjang videoklip.
* * *
Post Scriptum: Di videoklip yang dibuat tahun 1999 ini, “si anak
hilang” diperankan oleh gitaris Blur, Graham Coxon, yang juga menulis
lirik “Coffee & TV” dan menyanyikannya sendiri (di lagu ini vokalis
Damon Albarn hanya mengiringi sebagai vokal latar). Uniknya, melalui
videoklip ini Graham Coxon seolah meramalkan nasibnya sendiri. Tiga
tahun setelah itu lagu itu dibuat, dia hengkang dari Blur, meninggalkan
teman-temannya, dan melanjutkan proyek solonya.
Setelah
perpisahan itu, Blur sempat merilis album Think Tank (2003), untuk
kemudian band tersebut vakum hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Tiap personel sibuk dengan proyek musik dan non musik masing-masing.
Berbagai rumor bercampur harapan menyebutkan kemungkinan reuni formasi
lengkap (termasuk Graham Coxon) dan rencana meliris album baru Blur.
Namun harapan tinggal harapan. Dalam sebuah wawancara pada Oktober 2007,
Damon Albarn mengakui ada masalah internal yang tidak kunjung
terpecahkan dan bahwa reuni itu tidak akan pernah ada.
Sutradara videoklip ini, Garth Jennings (tergabung dalam Hammer and
Tongs), juga membuat videoklip keren lainnya: “Imitation of Life”-nya
R.E.M (2001) yang unik, dan “Silent Sigh”-nya Badly Drawn Boy (2002)
yang menyentuh.
[Budi Warsito]
Bandung, 26 Desember 2007
(diperbarui dari catatan lama tahun 2002)
http://budiwarsito.net/kopi-tv-popularitas/
Do you go to the country / it isn’t very far
There’s people there who will hurt you / cos of who you are
Your ears are full of the language / there’s wisdom there you’re sure
Till the words start slurring / and you can’t find the door
Lagu ini diciptakan oleh gitarisnya
Graham Coxon dan diartikan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Dan
karena itu lagu ini indah. Orang-orang melihat dari masing-masing
sisinya dan mengambil secuil makna tanpa perlu repot memastikan bahwa
maknanya adalah yang terbenar.
Ada satu bagian yang sangat menarik
karena begitu berbeda (kabarnya, Coxon dalam sebuah interview,
mengatakan bahwa lagu itu tentang kecanduannya alkohol dan caranya
melepaskan diri dengan nonton TV terus menerus dan minum kopi), yaitu “Do you go to the country / it isn’t very far. There’s people there who will hurt you / cos of who you are. Your
ears are full of the language / there’s wisdom there you’re sure. Till
the words start slurring / and you can’t find the door”.
Dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas:
“Apakah kau pernah pergi ke sebuah negara yang tidak terlalu jauh (dari sini)?
Ada orang-orang tertentu disana yang akan menyakitimu karena apa adanya dirimu. Kau memahami bahasanya dan yakin akan kebijaksanaan yang terkandung. Hingga kata-kata mengabur dan kau tak bisa lari.”
Disini Coxon berbicara tentang
identitas/ simbol dan kebijaksanaan yang diwakilinya tetapi gagal dalam
pelaksanaan hanya karena adanya perbedaan dan segala kebijaksanaan itu
kabur menjadi kebencian dan aniaya dalam bahasanya Goenawan Mohamad.
Orang-orang mencari persamaan dan
menghindari perbedaan karena dalam perbedaan terdapat potensi yang
sangat besar untuk benturan dan benturan selalu menyisakan mesiu
kebencian yang lahir dari pemahaman korban-korban. Perbedaan
kemudian dinisbikan semata kebencian dan permusuhan. Orang-orang yang
tidak setuju dengan anggapan dan pendapat kita berarti “memusuhi” dan
“membenci” kita. Orang-orang karena dirinya sendiri berbeda adalah
musuh. Identitas adalah segalanya dan kebijaksanaan (yang diwakili oleh
identitas tersebut) semakin hilang ditelan kebencian dan kebengisan
kebinatangan dalam lindungan dewa kebersamaan dan kesamaan identitas.
Meski Blur tidak pernah gamblang berbicara tetapi lagu ringan coffee & tv
yang kental nuansa british pop dengan tambahan efek distorsi gitar juga
mengumandangkan tentang politik dan negara dan karena itu tentang
peradaban. Semenjak perang dingin usai dengan keruntuhan blok Uni Sovyet
dan kemenangan demokrasi, politik identitas menemukan bentuk baru
menjadi beberapa kutub runcing peradaban sebagaimana dijelaskan dengan
sangat jelas oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya Benturan Antar
Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Qalam, Cetakan 9, Juni 2005)
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/12/globalisasi-sebuah-persimpangan/
|
pernah ku sablon gt :) |